Sabtu, 26 Maret 2016

OSTEOPOROSIS TERINDUKSI DM (DIABETES MELITUS) : PATOFISIOLOGI DAN TATALAKSANA




Patofisiologi Osteoporosis Terinduksi Diabetes Melitus (DM)

Walaupun bukan komplikasi utama, penurunan densitas tulang sering dialami penderita DM, bahkan dapat terjadi fraktur. Penurunan masa tulang bersama sama dengan onset DM, namun patogenesisnya masih belum jelas, ada dugaan diakibatkan defisiensi insulin, terbuangnya kalsium pada saat glikosuria, atau peningkatan resorpsi karena sebab lainnya. Pada diabetes mellitus tipe 1, telah diamati dalam beberapa penelitian ternyata didapatkan gambaran radiologis pada tulang padat terdapat penipisan struktur tulang. Hal ini diduga disebabkan akibat kontrol gula darah yang buruk. Tetapi dalam penelitian yang lebih besar tidak ditemukan hubungan kejadian fraktur dengan DM tipe 1. Ketidaksesuaian ini disebabkan adanya perbedaan antara pemeriksaan densitas tulang dengan tempat terjadinya fraktur. Pengukuran dengan densitometri ternyata tidak adekuat pada penderita DM tipe 1 disebabkan adanya perbedaan/perubahan berat badan, sedangkan pada penderita dengan resiko tinggi terhadap fraktur biasa terjadi pada tulang berongga biasanya pada penderita dengan neurapati perifer, yaitu pada pergelangan kaki. Pada DM tipe 2, densitas tulang pada wanita tidak terjadi penurunan. Hal ini disebabkan pembentukan massa tulang yang lebih dari pada normal, yang berhubungan dengan peningkatan Indeks massa tubuh pada DM tipe 2. Beberapa penelitian menduga hal tersebut karena penderita dalam keadaan obese, mungkin juga adanya kadar estrogen dan amylin yang lebih tinggi pada menopause.

Meskipun beberapa penelitian telah lama dilakukan untuk mengetahui bagaimana DM dapat menginduksi terjadinya osteoporosis dan osteopenia, mekanisme pasti terjadinya hal tersebut tetap saja belum dapat diketahui secara pasti. Meskipun demikian, sampai saat ini dapat diterima bahwa hiperglikemia merupakan penyebab yang secara langsung maupun tidak dapat mengganggu fungsi osteoblast dan merusak proses pembentukan tulang (Gambar 1). Pada tingkat seluler, penelitian in vitro terbaru pada sel mirip osteoblast MG63 menunjukkan bahwa konsentrasi lingkungan sel yang tinggi akan glukosa dapat menekan pertumbuhan sel, mineralisasi dan ekspresi berbagai marker terkait osteoblast, termasuk runt-related transcription factor-2 (Runx2), type Ⅰ collagen, osteocalcin dan osteonectin. Sementara itu, lingkungan sel tinggi glukosa justru akan memicu ekspresi dari marker adipogenik seperti peroxisom proliferator-activated receptor (PPAR)-γ, adipocyte fatty acid binding protein (aP2), resistin dan adipsin. Sejalan dengan hasil penelitian in vitro, analisis histomorphometric dari tikus terinduksi Dm dengan streptozotocin menunjukkan bahwa terjadi peningkatan jumlah osteoklast dan ekspresi dari mediator osteoclastogenic seperti TNF-α, MCSF, RANKL dan vascular endothelial growth factor (VEGF)-A. Terlebih lagi, terjadi juga upregulasi dari PPAR-γ, aP2 dan resistin mRNAs, serta terjadi peningkatan adiposit kaya lemak pada jaringan sumsung tulang pada tikus tersebut, dibarengi dengan terjadinya penurunan simpanan adiposit pada hati dan area periferal yang lain. Dari penjelasan diatas, maka masuk akal jika selain adanya efek langsung pada osteoblast dan proses pembentukan tulang, DM juga menginduksi terjadinya akumulasi lipid sepanjang sumsung tulang, dimana hal ini sangat berakibat buruk karena dengan adanya ekspansi lipid pada rongga tulang, maka akan terjadi penipisan pembungkus kortikal dari tulang. Selain itu, pergantian osteoblast menjadi adiposit akan mengakibatkan terjadinya penurunan jumlah osteoblast yang dibutuhkan dalam proses pembentukan tulang itu sendiri.





Gambar 1. Efek DM/ hiperglikemia terhadap metabolisme dan kualitas tulang


Pada sell tipe lain, seperti endothelial progenitor cells (EPCs) yang melapisi pembuluh darah juga terimbas oleh keadaan hiperglikemia. Penelitian menunjukkan bahwa hiperglikemia pada tikus terinduksi DM dengan streptozotocin dapat menyebabkan penurunan jumlah derivat EPGc yang bersirkulasi pada sumsung tulang. Penurunan ini dapat menyebabkan gagalnya angiogenesis pembuluh darah yang penting dalam proses pemulihan fraktur tulang. Fakta lebih jauh dengan threepoint bending mechanical test menunjukkan bahwa DM juga berhubungan dengan penurunan beberapa parameter penting tulang, seperti kekerasan tulang, pembentukan tulang, tahanan tulang terhadap fraktur/ tekanan yang kesemuanya berhubungan dengan kekuatan tulang atau “kualitas tulang”. Berkaitan dengan beberapa mekanisme yang mungkin terjadi pada osteoporosis terinduksi DM, beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa terjadi peningkatan advanced glycation end products (AGE) dan terjadinya ikatan silang non enzimatik antar serat kolagen, dimana kedua hal tersebut dapat menimbulkan kerusakan struktural dan properti mekanis dari tulang yang pada akhirnya juga akan menurunkan kekuatan tulang.

Keadaan hiperglikemia juga dapat memicu keadaan lain yaitu dysautonomia dan lemahnya fungsi leptin yang pada akhirnya dapat menyebabkan osteopenia dan osteoporosis pada DM sejak diketahui bahwa sistem syaraf simpatik dan leptin adalah 2 hal yang esensial dalam memodulasi pembentukan tulang dalam suatu proses yang kompleks. Luaran akhir dari stimulasi syaraf simpatik, apakah terjadi pembentukan atau perombakan tulang sangat tergantung pada distribusi relatif dari subtipe reseptor adrenergik yang teraktifasi (β1, β2 atau β3) pada sel osteoblast. Penurunan reseptor β2 adrenergik dan reseptor leptin pada tikus telah menujukkan korelasi positif terhadap peningkatan masa tulang, hal ini menunjukkan bahwa β2 agonis dan leptin adalah aktifator proses resorbsi tulang. Sebaliknya, sel mirip osteoblast UMR106 menunjukkan ekspresi RANKL dan OPG yang lebih rendah setelah diberikan β3-adrenergic agonis, dimana hal ini menunjukkan adanya efek protektif dari aktivasi reseptor β3-adrenergic terhadap proses resorbsi tulang. Meskipun demikian, korelasi yang mungkin menjelaskan autonomik neuropati diabetik dengan proses remodeling tulang harus diteliti lebih lanjut.

Beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa osteoporosis terinduksi DM juga dapat diperantarai sebagian lewat faktor humoral yaitu kinin yang dalam keadaan normal berfungsi dalam regulasi aliran darah, inflamasi dan proses nyeri. Disfungsi kinin ternyata berkaitan dengan terjadinya beberapa komplikasi DM, seperti hiperalgesia, kardiomiopati dan retinopati. Mencit akita diabetik dengan mutasi pada gen insulin-2 menunjukkan bahwa kurangnya reseptor bradikinin-1 (B1R) dan reseptor bradikinin-2 (B2R) akan menginduksi berbagai macam komplikasi diabetes termasuk albiminuria parah, glomerulosclerosis, berkurangnya kecepatan konduksi syaraf dan hilangnya mineral tulang. Maka dari itu timbul hipotesis yang mengarah pada berkurangnya reseptor bradikinin 1 dan 2 (B1R/ B2R) dan beberapa partisipan signaling dari kinin pada penderita DM akan menyebabkan rusaknya struktur tulang.

Tatalaksana Osteoporosis Terinduksi Diabetes Melitus (DM)

1. Pencegahan

Sejak diketahui bahwa efek paling merugikan dari DM pada terjadinya osteoporosis adalah hiperglikemia dan konsekuensinya (munculnya produk AGE dan buruknya vaskularisasi), maka kontrol gula darah yang baik dan perbaikan suplai darah dalam tubuh menjadi hal pokok dalalm tatalaksana (pencegahan dan pengobatan) osteoporosis terinduksi DM. Penggunaan obat antidiabetik yang sesuai akan sangat membantu kontrol gula darah yang pada akhirnya dapat membantu proses pembentukan tulang serta mencegah resorbsi tulang. Terapi insulin rekombinan menjadi pengobatan pilihan yang menjanjikan bagi pasien diabetes lewat aksi osteogeniknya secara langsung pada reseptor insulin di sel osteoblast. Penelitian in vitro pada bone marrow mesenchymal stem cells (BMSC) yang dikultur pada kondisi tinggi glukosa dan selanjutnya diberikan terapi insulin menunjukkan peningkatan signifikan dari alkaline fosfatase, yaitu suatu enzim yang merepresentasikan deferensiasi dari osteoblast. Sebagai tambahan, insulin juga memiliki efek sinergis saat dikombinasikan dengan suplemen 17β-estradiol dengan meningkatkan produksi kolagen tipe 1 dan mineral tulang pada penelitian in vitro. Selanjutnya, insulin juga memiliki manfaat tak langsung pada tulang dengan mengurangi efek negatif dari keadaan hiperglikemia kronis. Disamping menurunkan kadar glukosa plasma darah, dan memicu fungsi anabolik tulang, insulin juga meningkatkan produksi proteoglikan, suatu komponen gel matriks ekstraseluler dari kartilago tulang. Pada penelitian mencit yang diinduksi DM dengan streptozotocin, ditemukan bahwa insulin juga merupakan agen proteksi terhadap osteoartritis pada pasien DM yang mengalami kelebihan berat badan. 

Dari sekian banyak obat antidiabetes, beberapa telah dilaporkan baik untuk proses osteogenesis, melalui efek langsung mereka pada osteoblst atau BMSC dengan disertai efek penurunan proses adipogenesis. Sebagai contoh, penelitian terbaru menunjukkan bahwa mencit terinduksi DM dengan streptozotocin yang diterapi dengan metformin menunjukkan efek positif metformin terhadap diferensiasi osteoblast, termasuk memicu upregulasi dari ekspresi protein RunX dan osteocalsin. Metformin juga meningkatkan aktifitas dari ALP, sintesis kolagen tipe 1 serta peningkatan penyerapan kalsium tulang. Selaras dengan metformin, glimepirid juga menunjukkan aktifitas menstimulasi proliferasi dan difensiasi dari osteoblast. Sebagai tambahan, beberapa bahan herbal seperti ekstrak kulit kayu manis telah ditemukan mampu meningkatkan level serum insulin serta sensitifitas insulin pada jaringan adiposa dengan cara meningkatkan kadar serum adiponektin dibarengi dengan upregulasi ekspresi PPAR-α and -γ mRNA yang mana kesemuanya ini akan menimbulkan efek antihiperglikemik dan antihiperlipidemia. Sehingga ekstrak kulit kayumanis mungkin dapat membantu menurunkan akumulasi lemak pada sumsung tulang dan secara tidak langsung memfasilitasi proses pembentukan tulang.

Sebaliknya, obat antidiabetes golongan tiazolidindion seperti rosiglitazon harus digunakan dengan pengawasan khusus pada pasien DM postmenopousal, sejak diketahui bahwa agen tersebut dapat menginduksi hilangnya masa tulang dan fraktur. Tiazolidindion menurunkan proses pembentukan tulang dan BMD, sementara agen tersebut justru meningkatkan resorbsi tulang serta menurunkan sntesis ALP, osteocalsin, dan peptida prokolagen tipe N terminal. Namun, dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui efek seluler dan molekuler dari tiazolidindion terhadap remodeling tulang pasien DM. 

Perbaikan mikroangiopati dan restorasi mikrosirkulasi pada pasien osteoporosis terinduksi DM mungkin menjadi manfaat tambahan dari penggunaan insulin dan obat antidiabetik oral. Penlitian menunjukkan bahwa injeksi BMSC yang diterapi dengan ekstrak pankreas kedalam tikus terinduksi DM dengan streptozotocin tidak hanya menormalkan kadar glukosa darah dan mencegah apotosis dari sel islet, namun juga meningkatkan produksi dari VEGF, IGF-1 dan basic fibroblast growth factor (bFGF), yang kesemuanya memiliki efek angiogenik dan antiapoptosis. Penelitian in vivo terbaru pada mencit DM tipe 2 dengan iskemik lengan menunjukkan bahwa injeksi BMSC yang diterapi dengan epidermal growth factor (EGF) akan memberikan efek angiogenesis pada lengan yang mengalami iskemik sebesar 90%. Angiogenesis terjadi akibat BMSC yang diinjeksikan akan berdiferensiasi menjadi pembuluh darah mikro baru (neovaskularisasi), lewat molekul adesi interseluler-1 dan vascular cell adhesion protein-1 untuk proses adesi dan migrasinya. Secara keseluruhan, terdapat kemungkinan bahwa obat antidiabetik memiliki aktifitas meningkatkan aliran darah menuju ke sisi fraktur tulang, yang pada giliranya akan mempercepat penyembuhan tulang, serta mencegah osteopenia/osteoporosis. Sebaliknya, obat reologi seperti pentoxifylline, yang beraksi dengan menigkatkan aliran darah dan aktifitas osteoblast telah menjadi agen menjanjikan bagi pengobatan osteoporosis pada pasien DM maupun Non-DM.

2. Pengobatan

Dalam penatalaksaan osteoporosis baik pada penderita diabetes maupun non diabetes tetap berdasarkan patogenesis osteoporosis. Walaupun masih belum dapat dijelaskan secara keseluruhan patogenesis osteoporosis pada diabetes mellitus, tetapi pengelolaan Osteoporosis hampir sama dengan pada penderita non-diabetik (gambar 2), disertai pengelolaan diabetesnya dengan kontrol yang baik, yaitu kadar gula darah dan berat badan dalam keadaan normal. Obat yang paling banyak digunakan adalah antiresorptif, termasuk estrogen, biphosphonat, calcitonin, SERMs (selective estrogen receptor modulator), biphosphonate, kalsitonin, strontium dan yang termasuk dalam kelompok perangsang formasi tulang (bone forming agent) adalah : kalsium, vitamin D, thiazide, garam flourida, hormon paratiroid (PTH), anabolik steroid dan statin. Beberapa obat-obatan dalam tatalaksana osteoporosis adalah :
  • Hormon seks : Hormon seks pada wanita seperti estrogen, SERMs, ipriflavone ataupun tibolone, sedangkan pada pria, androgen. Testosteron berperan dalam pertumbuhan tulang, sedang estrogen berperan dalam membatasi pertumbuhan tulang. Seperti halnya pada defisiensi estrogen, defisiensi androgen juga mengakibatkan bone loss dengan cara merangsang osteoklas untuk resorpsi tulang. Sampai saat ini informasi terapi sulih estrogen pada fraktur vertebra sangat terbatas. Walaupun demikian penelitian pada 75 wanita menopause dengan osteoporosis yang mendapat terapi estrogen transdermal, didapatkan penurunan relative risk 0,39 dibanding tidak diobati dan terjadi peningkatan densitas tulang lumbal sebesar 5,1 %, dan menurunkan remodelling tulang. Dan pada penelitian kohort, mendapatkan terapi sulih estrogen ini sebagai terapi preventif osteoporosis.
  • Biphosphonat : Biphosphonat adalah analog pyrophosphate yang stabil, mempunyai Mekanisme pasti belum begitu jelas, tetapi diduga mempengaruhi osteoklas atau prekusornya sehingga terjadi peningkatan sel sel mati, pada akhirnya terjadi penurunan resorpsi tulang. Beberapa biphosphonat dapat mempengaruhi : aktivasi prekursor osteoklas, diferensiasi prekursor osteoklas menjadi osteoklas matang, khemotaksis, perlekatan osteoklas pada tulang dan apoptosis osteoklas. Disamping itu biphosphonat mempunyai efek secara tidak langsung terhadap osteoklas, yaitu dengan cara merangsang osteoblas untuk menghasilkan zat yang dapat menghambat kerja osteoklas dan menurunkan kadar stimulator osteoklas. Dengan demikian Bisphosphonate menyebabkan peningkatan densitas tulang dan penurunan fraktur tulang. Preparat yang dianjurkan untuk terapi pencegahan hilangnya massa tulang adalah clodronate, pamidronate, tiludronate, risedronate, and ibandronate, sedangkan pada penderita yang telah terjadi fraktur dapat digunakan etidronate dan alendronate. Dosis untuk kasus osteoporosis : etidronat 400 mg/hari selama 2 minggu, dilanjutkan dosis rendah sebagai terapi intermiten disertai pemberian 500 mg kalsium selama 76 hari selama 11 bulan. Alendronat 10 mg/hari yang diberikan secara terus-menerus sebagai terapi pada wanita menopause akan meningkatkan densitas tulang lumbal sebesar 8.8% dan 5,9% pada tulang leher selama 3 tahun pemberian serta dapat menurunkan angka fraktur spinal dan nonvertebra sebesar 40%-50%.


Gambar 2. Algoritma Terapi Osteoporosis pada wanita postmenopousal dan pria usia ≥ 50 tahun (Dipiro, 2015)

  • Kalsitonin : Kalsitonin adalah asam amino 32 peptida diproduksi oleh sel C kelenjar tiroid dan dihasilkan apabila terjadi penurunan resorpsi tulang, oleh sebab itu bekerja hanya pada keadaan dimana kadar kalsium dalam darah meningkat seperti pada penderita osteoporosis dan bukan pada orang keadaan normal. Kalsitonin juga dapat menghambat kelebihan kadar kalsium dalam darah sesudah seseorang yang mengkonsumsi makanan yang kaya kalsium dan mampu melindungi badan terhadap kehilangan cadangan kalsium tubuh, misalnya pada kehamilan, menyusui, masa pertumbuhan dan intake kalsium yang rendah. Disamping itu pada osteoklast terdapat reseptor calsitonin dan secara cepat calsitonin akan menghambat aksi osteoklas. Salmon atau human calsitonin diberikan secara subkutan dengan dosis 100 IU perhari, akan meningkatkan densitas tulang dan menurunkan fraktur vertebra. Dengan cara pemberian intaranasal dengan dosis tudak kurang dari 200 IU perhari ternyata tidak memberikan hasil yang baik pada wanita tua dengan fraktur vertebra.
  • Kalsium dan Vitamin D : Salah satu kegunaan kalsium dalam tubuh adalah untuk proses mineralisasi tulang dan juga berfungsi sebagai anti resorptive agent dengan cara meningkatkan kadar kalsium dalam darah dan menekan kadar hormon paratiroid. Berbagai penelitian telah membuktikan adanya penambahan densitas tulang pada pemberian kalsium. Dosis yang dianjurkan adalah antara 1.000 – 1.500 mg/hari. Pemberian vitamin D sebanyak 17,5 µg/hari selama 2 tahun dapat menghambat penurunan densitas tulang panggul dan kaput femuris.
  • Kalsitriol : Kalsitriol adalah salah satu hasil metabolit vitamin D atau 1,25 dihydroxyvitamin D suatu bentuk aktif dari vitamin D dan dipakai dalam pengobatan osteoporosis, menurunkan absorbsi kalsium dan mungkin mempunyai efek langsung pada sel tulang oleh karena itu pemberian kalsitriol pada penderita osteoporosis rasional terutama pada penderita lansia.
  • Hormon paratiroid (PTH) : Dengan pemberian PTH akan meningkatkan biokimiawi pada proses formasi dan resorpsi tulang sehingga bertindak sebagai pengatur lalu lintas kalsium dan fosfat melalui membran sel tulang dan ginjal serta akan mengakibatkan peningkatan kadar kalsium dan penurunan kadar fosfat dalam serum. Pada pemberian PTH injeksi setiap hari merangsang pembentukan tulang. Pemberian selama 2 tahun, ternyata terjadi peningkatan densitas tulang vertebra, tetapi pada tulang leher tidak terjadi. Walaupun demikian sampai saat ini efek PTH terhadap insidensi fraktur belum diketahui.
  • Anabolik steroid : Anabolik steroid telah lama dipakai untuk pengobatan osteoporosis pada wanita post menopause dan ternyata terapi ini dapat meningkatkan densitas tulang yang diduga melalui mekanisme merangsang pembentukan tulang. Akan tetapi marka biokimia tentang adanya proses pembentukan tulang tidak ditemukan, dengan demikian keadaan ini tidak menyokong hipotesa tersebut. Bekerjanya anabolik steroid ternyata primer pada penurunan bone turnover. Apabila anabolik steroid diberikan pada wanita, untuk mengurangi efek samping obat pemberiannya dianjurkan secara intermiten selama 6-9 bulan.
  • Raloxifene : Raloxifene merupakan formulasi kombinasi agonis estrogen dan antagonist estrogen dan mempunyai sifat selektif terhadap modulator reseptor. Pada menopause yang diberikan raloxipene selama 2 tahun, didapatkan penururunan resorpsi dan peningkatan densitas tilang limbal ( 2,4% ), Panggul ( 2,4%), dan pada densitas seluruh tulang (2,0%). Raloxipene juga menurunkan kolesterol LDL tetapi tidak menstimulasi pertumbuhan endometrial, sehingga raloxipene dapat digunakan sebagai terapi alternative pengganti estrogen.

DAFTAR PUSTAKA

Dipiro, et al. 2015, Pharmacoterapy Handbook, McGraw-Hill Education, USA
Wongdee, K., dan Charoenphandhu, N., 2011, Osteoporosis in diabetes mellitus: Possible            cellular and molecular mechanisms, World J Diabetes, 15; 41-48

Tidak ada komentar:

Posting Komentar