Senin, 28 Maret 2016

DAGING BAKAR (GRILLED MEAT) SI PEMICU KANKER, BENARKAH?



Amine heterosiklik dan hidrokarbon aromatik polisiklik serta bagaimana mereka terbentuk pada daging yang dibakar?

Amin heterosiklik/ Heterocyclic amines (HCAs) dan hidrokarbon aromatik polisiklik/ polycyclic aromatic hydrocarbons (PAHs) merupakan senyawa kimia yang terbentuk ketika daging (otot) termasuk didalamnya daging sapi, kambing, babi ataupun ikan dimasak menggunakan suhu/ temperatur tinggi, misalnya dengan cara digoreng ataupun dibakar langsung menggunakan api. Pada sebuah percobaan laboratorium ditemukan bahwa senyawa HCAs dan PAHs merupakan snyawa bersifat mutagenik, yaitu senyawa yang menyebabkan perubahan (mutasi) DNA yang pada akhirnya dapat meningkatkan resiko kanker pada seseorang.

HCAs sendiri terbentuk ketika asam amino (suatu senyawa dasar penyusun protein), gula, dan kreatin (suatu senyawa yang ditemukan pada otot/ daging) bereaksi pada temperatur tinggi. Sedangkan PAHs terbentuk ketika lemak dan sari/ juice dari daging dibakar langsung pada api terbuka yang menyebabkan proses terbakar dari daging itu sendiri. Nyala api yang tercipta saat pembakaran daging itulah yang mengandung senyawa PAHs yang akhirnya menempel pada permukaan daging. PAH juga dapat terbentuk saat dilakukan preparasi makanan dengan cara lain, misalnya dengan cara diasap. HCAs sendiri akhirnya bersifat unik karena tidak ditemukan pada makanan non-bakar, namun ditemukan dengan kadar tinggi pada makanan yang dibakar. PAHs secara klasik juga ditemukan pada asap rokok dan gas buang kendaraan.

Faktor apa saja yang mempengaruhi terbentuknya HCA dan PAH pada daging yang dibakar?

Pembentukan senyawa HCAs dan PAHs sangat tergantung pada tipe daging yang dibakar, cara memasak dan tingkat kematangan daging itu sendiri (rare, medium, dan weel done). Namun dalam hal ini, apapun tipe dagingnya, asalkan itu dimasak menggunakan suhu yang tinggi khususnya diatas 1500C (seperti digoreng atau dibakar), atau yang dimasak dalam waktu yang lama akan lebih memicu terbentuknya senyawa HCAs tersebut. Sebagai contoh, ayam atau daging yang dimasak well done, dibarbecue atau dibakar akan memiliki konsentrasi HCA yang tinggi. Sedangkan metode masak yang melibatkan kontak makanan dengan asap akan meningkatkan resiko terbentuknya senyawa PAH. 

HCAs dan PAHs menjadi senyawa yang dapat merusak DNA setelah keduanya dimetabolisme oleh enzim spesifik di dalam tubuh memalui proses yang dinamakan “bioaktivasi”. Penelitian menunjukkan bahwa akifitas enzim-enzim pengaktifasi PAH dan HCA ini akan sangat berbeda antar individu yang akhirnya sangat relevan dengan peningkatan resiko kanker pada orang-orang dengan konsumsi makanan yang dimasak dengan suhu tinggi tersebut.

Bukti apa yang menunjukkan bahwa senyawa HCAs dan PAHs dalam makanan yang dibakar dapat meningkatkan resiko kanker?

Penelitian telah menunjukkan bahwa pemberian senyawa HCA dan PAH dapat memicu timbulnya kanker pada hewan percobaan. Pada banyak percobaan, hewan pengerat (misalnya tikus) yang diberikan diet tinggi HCA akan teramati munculnya tumor pada payudara, kolon, hati, kulit, paru, prostat dan organ penting lainnya.hewan pengerat yang diberikan diet tinggi PAH juga akan teramati munculnya kanker termasuk leukemia dan tumur pada saluran gastrintestinal dan paru. Namun demikian, dosis yang digunakan dalam penelitian-penelitian ini adalah sangat tinggi yang ekuivalen dengan ribuan kali dosis asupan makanan orang pada keadaan normal. 

Sampai saat ini, Studi populasi belum dapat mengungkap hubungan pasti antara HCA dan PAH dari makanan yang dibakar dengan kejadian kanker pada manusia. Salah satu kesulitan dalam studi populasi ini adalah menghitung jumlah asupan HCA dan tau PAH rata-rata seseorang dari makanan yang dimasak dengan suhu tinggi/ dibakar tadi. Namun demikian, kuesioner terkait pola diet seseorang dapat menyediakan estimasi yang baik mengenai detail makanan mengandung PAH dan atau HCA yang dikonsumsi seseorang. Sebagai tambahan, variasi aktifitas enzim yang memetabolisme PAH dan atau HCA pada tiap-tiap individu akan menghasilkan kadar paparan PAH dan HCA yang berbeda pula, meskipun jumlah dan jenis makanan yang dikonsumsi sama. Atau dalam hal ini bisa juga bahwa paparan PAH dan HCA seseorang dapat berasal dari non-makanan seperti polusi dan asap rokok. 

Meskipun demikian, beberapa studi epidemiologi telah menggunakan kuesioner untuk meneliti partisipan terkait jumlah konsumsi daging serta cara masak daging untuk memperkirakan jumlah paparan PAH dan HCA. Dan penelitian tersebut menunjukkan bahwa konsumsi yang tinggi akan daging yang dimasak well-done, digoreng atau barbeque sangat berhubungan dengan peningkatan resiko kanker kolorektal, pankreas dan prostat 

Apakah sudah tersedia panduan diet terkait konsumsi makanan mengandung HCA dan PAH?

Sampai sekarang ini, belum terdapat panduan resmi yang mengatur tentang konsumsi makanan mengandung HCA dan PAH. The World Cancer Research Fund/American Institute for Cancer Research meluncurkan laporan pada tahun 2007 tentang panduan diet yang merekomendasikan untuk membatasi konsumsi daging merah yang diproses dengan cara di asap  ataupun dibakar, namun panduan tersebut tidak secara detail menyebutkan beberapa batasan kadar/ level konsumsi PAH dan HCA tersebut.  

Adakah cara untuk mengurangi resiko pembentukan senyawa HCA dan PAH pada daging yang dibakar? 

Meskipun belum ada panduan spesifik mengenai konsumsi makanan mengandung PAH dan HCA, tiap individu dapat mengurangi jumlah paparan zat-zat tadi dengan beberapa cara yaitu :

  1. Menghindari paparan api langsung atau besi panas pada setia daging yang dimasak, serta menghindari memasak daging yang terlalu lama pad suhu yang tinggi. Hal ini dapat mengurangi kadar PAH ataupun HCA.
  2. Menggunakan mikrowave untuk memasak daging daripada menggunakan suhu tinggi atau dengan kata lain mengindarkan daging dari kontak dengan suhu tinggi dalam waktu yang lama. Hal ini juga efektif menurunkan kadar PAH atau HCA.
  3. Rajin membalik daging saat memasaknya dengan suhu tinggi juga dapat megurangi terbentuknya HCA jika dibanding dengan membiarkan daging terbakar pada pemanggang tanpa pernah membaliknya.
  4. Mengurangi jumlah arang yang digunakan untuk membakar atau dengan cara mengurangi tetesan air daging yang jatuh pada bara api.

Penelitian apa yang sekarang sedang dilakukan untuk mengetahui hubungan antara konsumsi makanan mengandung HCA dan PAH dengan peningkatan resiko kanker pada manusia?

Para peneliti di amerika sekarang ini sedang melakukan penelitian terkait dengan jumlah asupan daging, cara masak daging dan resiko kanker pada seseorang. Penelitian yang sedang berjalan ini melibatkan NIH-AARP Diet and Health Study, the American Cancer Society’s Cancer Prevention Study II, the Multiethnic Cohort dan peneliti dari universitas Harvard. Penelitian serupa juga sedang dilakukan di eropa dengan melibatkan the European Prospective Investigation dalam studi Cancer and Nutrition (EPIC).

DAFTAR PUSTAKA

Cross AJ, Sinha R. Meat-related mutagens/carcinogens in the etiology of colorectal cancer.           Environmental and Molecular Mutagenesis 2004; 44(1):44–55. [PubMed Abstract]
Jägerstad M, Skog K. Genotoxicity of heat-processed foods. Mutation Research 2005;                   574(1–2):156–172. [PubMed Abstract]
Sugimura T, Wakabayashi K, Nakagama H, Nagao M. Heterocyclic amines:                                     Mutagens/carcinogens produced during cooking of meat and fish. Cancer                               Science2004; 95(4):290–299. [PubMed Abstract]
Knize MG, Felton JS. Formation and human risk of carcinogenic heterocyclic amines formed           from natural precursors in meat. Nutrition Reviews 2005; 63(5):158–165.[PubMed                 Abstract]

Sabtu, 26 Maret 2016

OSTEOPOROSIS TERINDUKSI DM (DIABETES MELITUS) : PATOFISIOLOGI DAN TATALAKSANA




Patofisiologi Osteoporosis Terinduksi Diabetes Melitus (DM)

Walaupun bukan komplikasi utama, penurunan densitas tulang sering dialami penderita DM, bahkan dapat terjadi fraktur. Penurunan masa tulang bersama sama dengan onset DM, namun patogenesisnya masih belum jelas, ada dugaan diakibatkan defisiensi insulin, terbuangnya kalsium pada saat glikosuria, atau peningkatan resorpsi karena sebab lainnya. Pada diabetes mellitus tipe 1, telah diamati dalam beberapa penelitian ternyata didapatkan gambaran radiologis pada tulang padat terdapat penipisan struktur tulang. Hal ini diduga disebabkan akibat kontrol gula darah yang buruk. Tetapi dalam penelitian yang lebih besar tidak ditemukan hubungan kejadian fraktur dengan DM tipe 1. Ketidaksesuaian ini disebabkan adanya perbedaan antara pemeriksaan densitas tulang dengan tempat terjadinya fraktur. Pengukuran dengan densitometri ternyata tidak adekuat pada penderita DM tipe 1 disebabkan adanya perbedaan/perubahan berat badan, sedangkan pada penderita dengan resiko tinggi terhadap fraktur biasa terjadi pada tulang berongga biasanya pada penderita dengan neurapati perifer, yaitu pada pergelangan kaki. Pada DM tipe 2, densitas tulang pada wanita tidak terjadi penurunan. Hal ini disebabkan pembentukan massa tulang yang lebih dari pada normal, yang berhubungan dengan peningkatan Indeks massa tubuh pada DM tipe 2. Beberapa penelitian menduga hal tersebut karena penderita dalam keadaan obese, mungkin juga adanya kadar estrogen dan amylin yang lebih tinggi pada menopause.

Meskipun beberapa penelitian telah lama dilakukan untuk mengetahui bagaimana DM dapat menginduksi terjadinya osteoporosis dan osteopenia, mekanisme pasti terjadinya hal tersebut tetap saja belum dapat diketahui secara pasti. Meskipun demikian, sampai saat ini dapat diterima bahwa hiperglikemia merupakan penyebab yang secara langsung maupun tidak dapat mengganggu fungsi osteoblast dan merusak proses pembentukan tulang (Gambar 1). Pada tingkat seluler, penelitian in vitro terbaru pada sel mirip osteoblast MG63 menunjukkan bahwa konsentrasi lingkungan sel yang tinggi akan glukosa dapat menekan pertumbuhan sel, mineralisasi dan ekspresi berbagai marker terkait osteoblast, termasuk runt-related transcription factor-2 (Runx2), type Ⅰ collagen, osteocalcin dan osteonectin. Sementara itu, lingkungan sel tinggi glukosa justru akan memicu ekspresi dari marker adipogenik seperti peroxisom proliferator-activated receptor (PPAR)-γ, adipocyte fatty acid binding protein (aP2), resistin dan adipsin. Sejalan dengan hasil penelitian in vitro, analisis histomorphometric dari tikus terinduksi Dm dengan streptozotocin menunjukkan bahwa terjadi peningkatan jumlah osteoklast dan ekspresi dari mediator osteoclastogenic seperti TNF-α, MCSF, RANKL dan vascular endothelial growth factor (VEGF)-A. Terlebih lagi, terjadi juga upregulasi dari PPAR-γ, aP2 dan resistin mRNAs, serta terjadi peningkatan adiposit kaya lemak pada jaringan sumsung tulang pada tikus tersebut, dibarengi dengan terjadinya penurunan simpanan adiposit pada hati dan area periferal yang lain. Dari penjelasan diatas, maka masuk akal jika selain adanya efek langsung pada osteoblast dan proses pembentukan tulang, DM juga menginduksi terjadinya akumulasi lipid sepanjang sumsung tulang, dimana hal ini sangat berakibat buruk karena dengan adanya ekspansi lipid pada rongga tulang, maka akan terjadi penipisan pembungkus kortikal dari tulang. Selain itu, pergantian osteoblast menjadi adiposit akan mengakibatkan terjadinya penurunan jumlah osteoblast yang dibutuhkan dalam proses pembentukan tulang itu sendiri.





Gambar 1. Efek DM/ hiperglikemia terhadap metabolisme dan kualitas tulang


Pada sell tipe lain, seperti endothelial progenitor cells (EPCs) yang melapisi pembuluh darah juga terimbas oleh keadaan hiperglikemia. Penelitian menunjukkan bahwa hiperglikemia pada tikus terinduksi DM dengan streptozotocin dapat menyebabkan penurunan jumlah derivat EPGc yang bersirkulasi pada sumsung tulang. Penurunan ini dapat menyebabkan gagalnya angiogenesis pembuluh darah yang penting dalam proses pemulihan fraktur tulang. Fakta lebih jauh dengan threepoint bending mechanical test menunjukkan bahwa DM juga berhubungan dengan penurunan beberapa parameter penting tulang, seperti kekerasan tulang, pembentukan tulang, tahanan tulang terhadap fraktur/ tekanan yang kesemuanya berhubungan dengan kekuatan tulang atau “kualitas tulang”. Berkaitan dengan beberapa mekanisme yang mungkin terjadi pada osteoporosis terinduksi DM, beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa terjadi peningkatan advanced glycation end products (AGE) dan terjadinya ikatan silang non enzimatik antar serat kolagen, dimana kedua hal tersebut dapat menimbulkan kerusakan struktural dan properti mekanis dari tulang yang pada akhirnya juga akan menurunkan kekuatan tulang.

Keadaan hiperglikemia juga dapat memicu keadaan lain yaitu dysautonomia dan lemahnya fungsi leptin yang pada akhirnya dapat menyebabkan osteopenia dan osteoporosis pada DM sejak diketahui bahwa sistem syaraf simpatik dan leptin adalah 2 hal yang esensial dalam memodulasi pembentukan tulang dalam suatu proses yang kompleks. Luaran akhir dari stimulasi syaraf simpatik, apakah terjadi pembentukan atau perombakan tulang sangat tergantung pada distribusi relatif dari subtipe reseptor adrenergik yang teraktifasi (β1, β2 atau β3) pada sel osteoblast. Penurunan reseptor β2 adrenergik dan reseptor leptin pada tikus telah menujukkan korelasi positif terhadap peningkatan masa tulang, hal ini menunjukkan bahwa β2 agonis dan leptin adalah aktifator proses resorbsi tulang. Sebaliknya, sel mirip osteoblast UMR106 menunjukkan ekspresi RANKL dan OPG yang lebih rendah setelah diberikan β3-adrenergic agonis, dimana hal ini menunjukkan adanya efek protektif dari aktivasi reseptor β3-adrenergic terhadap proses resorbsi tulang. Meskipun demikian, korelasi yang mungkin menjelaskan autonomik neuropati diabetik dengan proses remodeling tulang harus diteliti lebih lanjut.

Beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa osteoporosis terinduksi DM juga dapat diperantarai sebagian lewat faktor humoral yaitu kinin yang dalam keadaan normal berfungsi dalam regulasi aliran darah, inflamasi dan proses nyeri. Disfungsi kinin ternyata berkaitan dengan terjadinya beberapa komplikasi DM, seperti hiperalgesia, kardiomiopati dan retinopati. Mencit akita diabetik dengan mutasi pada gen insulin-2 menunjukkan bahwa kurangnya reseptor bradikinin-1 (B1R) dan reseptor bradikinin-2 (B2R) akan menginduksi berbagai macam komplikasi diabetes termasuk albiminuria parah, glomerulosclerosis, berkurangnya kecepatan konduksi syaraf dan hilangnya mineral tulang. Maka dari itu timbul hipotesis yang mengarah pada berkurangnya reseptor bradikinin 1 dan 2 (B1R/ B2R) dan beberapa partisipan signaling dari kinin pada penderita DM akan menyebabkan rusaknya struktur tulang.

Tatalaksana Osteoporosis Terinduksi Diabetes Melitus (DM)

1. Pencegahan

Sejak diketahui bahwa efek paling merugikan dari DM pada terjadinya osteoporosis adalah hiperglikemia dan konsekuensinya (munculnya produk AGE dan buruknya vaskularisasi), maka kontrol gula darah yang baik dan perbaikan suplai darah dalam tubuh menjadi hal pokok dalalm tatalaksana (pencegahan dan pengobatan) osteoporosis terinduksi DM. Penggunaan obat antidiabetik yang sesuai akan sangat membantu kontrol gula darah yang pada akhirnya dapat membantu proses pembentukan tulang serta mencegah resorbsi tulang. Terapi insulin rekombinan menjadi pengobatan pilihan yang menjanjikan bagi pasien diabetes lewat aksi osteogeniknya secara langsung pada reseptor insulin di sel osteoblast. Penelitian in vitro pada bone marrow mesenchymal stem cells (BMSC) yang dikultur pada kondisi tinggi glukosa dan selanjutnya diberikan terapi insulin menunjukkan peningkatan signifikan dari alkaline fosfatase, yaitu suatu enzim yang merepresentasikan deferensiasi dari osteoblast. Sebagai tambahan, insulin juga memiliki efek sinergis saat dikombinasikan dengan suplemen 17β-estradiol dengan meningkatkan produksi kolagen tipe 1 dan mineral tulang pada penelitian in vitro. Selanjutnya, insulin juga memiliki manfaat tak langsung pada tulang dengan mengurangi efek negatif dari keadaan hiperglikemia kronis. Disamping menurunkan kadar glukosa plasma darah, dan memicu fungsi anabolik tulang, insulin juga meningkatkan produksi proteoglikan, suatu komponen gel matriks ekstraseluler dari kartilago tulang. Pada penelitian mencit yang diinduksi DM dengan streptozotocin, ditemukan bahwa insulin juga merupakan agen proteksi terhadap osteoartritis pada pasien DM yang mengalami kelebihan berat badan. 

Dari sekian banyak obat antidiabetes, beberapa telah dilaporkan baik untuk proses osteogenesis, melalui efek langsung mereka pada osteoblst atau BMSC dengan disertai efek penurunan proses adipogenesis. Sebagai contoh, penelitian terbaru menunjukkan bahwa mencit terinduksi DM dengan streptozotocin yang diterapi dengan metformin menunjukkan efek positif metformin terhadap diferensiasi osteoblast, termasuk memicu upregulasi dari ekspresi protein RunX dan osteocalsin. Metformin juga meningkatkan aktifitas dari ALP, sintesis kolagen tipe 1 serta peningkatan penyerapan kalsium tulang. Selaras dengan metformin, glimepirid juga menunjukkan aktifitas menstimulasi proliferasi dan difensiasi dari osteoblast. Sebagai tambahan, beberapa bahan herbal seperti ekstrak kulit kayu manis telah ditemukan mampu meningkatkan level serum insulin serta sensitifitas insulin pada jaringan adiposa dengan cara meningkatkan kadar serum adiponektin dibarengi dengan upregulasi ekspresi PPAR-α and -γ mRNA yang mana kesemuanya ini akan menimbulkan efek antihiperglikemik dan antihiperlipidemia. Sehingga ekstrak kulit kayumanis mungkin dapat membantu menurunkan akumulasi lemak pada sumsung tulang dan secara tidak langsung memfasilitasi proses pembentukan tulang.

Sebaliknya, obat antidiabetes golongan tiazolidindion seperti rosiglitazon harus digunakan dengan pengawasan khusus pada pasien DM postmenopousal, sejak diketahui bahwa agen tersebut dapat menginduksi hilangnya masa tulang dan fraktur. Tiazolidindion menurunkan proses pembentukan tulang dan BMD, sementara agen tersebut justru meningkatkan resorbsi tulang serta menurunkan sntesis ALP, osteocalsin, dan peptida prokolagen tipe N terminal. Namun, dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui efek seluler dan molekuler dari tiazolidindion terhadap remodeling tulang pasien DM. 

Perbaikan mikroangiopati dan restorasi mikrosirkulasi pada pasien osteoporosis terinduksi DM mungkin menjadi manfaat tambahan dari penggunaan insulin dan obat antidiabetik oral. Penlitian menunjukkan bahwa injeksi BMSC yang diterapi dengan ekstrak pankreas kedalam tikus terinduksi DM dengan streptozotocin tidak hanya menormalkan kadar glukosa darah dan mencegah apotosis dari sel islet, namun juga meningkatkan produksi dari VEGF, IGF-1 dan basic fibroblast growth factor (bFGF), yang kesemuanya memiliki efek angiogenik dan antiapoptosis. Penelitian in vivo terbaru pada mencit DM tipe 2 dengan iskemik lengan menunjukkan bahwa injeksi BMSC yang diterapi dengan epidermal growth factor (EGF) akan memberikan efek angiogenesis pada lengan yang mengalami iskemik sebesar 90%. Angiogenesis terjadi akibat BMSC yang diinjeksikan akan berdiferensiasi menjadi pembuluh darah mikro baru (neovaskularisasi), lewat molekul adesi interseluler-1 dan vascular cell adhesion protein-1 untuk proses adesi dan migrasinya. Secara keseluruhan, terdapat kemungkinan bahwa obat antidiabetik memiliki aktifitas meningkatkan aliran darah menuju ke sisi fraktur tulang, yang pada giliranya akan mempercepat penyembuhan tulang, serta mencegah osteopenia/osteoporosis. Sebaliknya, obat reologi seperti pentoxifylline, yang beraksi dengan menigkatkan aliran darah dan aktifitas osteoblast telah menjadi agen menjanjikan bagi pengobatan osteoporosis pada pasien DM maupun Non-DM.

2. Pengobatan

Dalam penatalaksaan osteoporosis baik pada penderita diabetes maupun non diabetes tetap berdasarkan patogenesis osteoporosis. Walaupun masih belum dapat dijelaskan secara keseluruhan patogenesis osteoporosis pada diabetes mellitus, tetapi pengelolaan Osteoporosis hampir sama dengan pada penderita non-diabetik (gambar 2), disertai pengelolaan diabetesnya dengan kontrol yang baik, yaitu kadar gula darah dan berat badan dalam keadaan normal. Obat yang paling banyak digunakan adalah antiresorptif, termasuk estrogen, biphosphonat, calcitonin, SERMs (selective estrogen receptor modulator), biphosphonate, kalsitonin, strontium dan yang termasuk dalam kelompok perangsang formasi tulang (bone forming agent) adalah : kalsium, vitamin D, thiazide, garam flourida, hormon paratiroid (PTH), anabolik steroid dan statin. Beberapa obat-obatan dalam tatalaksana osteoporosis adalah :
  • Hormon seks : Hormon seks pada wanita seperti estrogen, SERMs, ipriflavone ataupun tibolone, sedangkan pada pria, androgen. Testosteron berperan dalam pertumbuhan tulang, sedang estrogen berperan dalam membatasi pertumbuhan tulang. Seperti halnya pada defisiensi estrogen, defisiensi androgen juga mengakibatkan bone loss dengan cara merangsang osteoklas untuk resorpsi tulang. Sampai saat ini informasi terapi sulih estrogen pada fraktur vertebra sangat terbatas. Walaupun demikian penelitian pada 75 wanita menopause dengan osteoporosis yang mendapat terapi estrogen transdermal, didapatkan penurunan relative risk 0,39 dibanding tidak diobati dan terjadi peningkatan densitas tulang lumbal sebesar 5,1 %, dan menurunkan remodelling tulang. Dan pada penelitian kohort, mendapatkan terapi sulih estrogen ini sebagai terapi preventif osteoporosis.
  • Biphosphonat : Biphosphonat adalah analog pyrophosphate yang stabil, mempunyai Mekanisme pasti belum begitu jelas, tetapi diduga mempengaruhi osteoklas atau prekusornya sehingga terjadi peningkatan sel sel mati, pada akhirnya terjadi penurunan resorpsi tulang. Beberapa biphosphonat dapat mempengaruhi : aktivasi prekursor osteoklas, diferensiasi prekursor osteoklas menjadi osteoklas matang, khemotaksis, perlekatan osteoklas pada tulang dan apoptosis osteoklas. Disamping itu biphosphonat mempunyai efek secara tidak langsung terhadap osteoklas, yaitu dengan cara merangsang osteoblas untuk menghasilkan zat yang dapat menghambat kerja osteoklas dan menurunkan kadar stimulator osteoklas. Dengan demikian Bisphosphonate menyebabkan peningkatan densitas tulang dan penurunan fraktur tulang. Preparat yang dianjurkan untuk terapi pencegahan hilangnya massa tulang adalah clodronate, pamidronate, tiludronate, risedronate, and ibandronate, sedangkan pada penderita yang telah terjadi fraktur dapat digunakan etidronate dan alendronate. Dosis untuk kasus osteoporosis : etidronat 400 mg/hari selama 2 minggu, dilanjutkan dosis rendah sebagai terapi intermiten disertai pemberian 500 mg kalsium selama 76 hari selama 11 bulan. Alendronat 10 mg/hari yang diberikan secara terus-menerus sebagai terapi pada wanita menopause akan meningkatkan densitas tulang lumbal sebesar 8.8% dan 5,9% pada tulang leher selama 3 tahun pemberian serta dapat menurunkan angka fraktur spinal dan nonvertebra sebesar 40%-50%.


Gambar 2. Algoritma Terapi Osteoporosis pada wanita postmenopousal dan pria usia ≥ 50 tahun (Dipiro, 2015)

  • Kalsitonin : Kalsitonin adalah asam amino 32 peptida diproduksi oleh sel C kelenjar tiroid dan dihasilkan apabila terjadi penurunan resorpsi tulang, oleh sebab itu bekerja hanya pada keadaan dimana kadar kalsium dalam darah meningkat seperti pada penderita osteoporosis dan bukan pada orang keadaan normal. Kalsitonin juga dapat menghambat kelebihan kadar kalsium dalam darah sesudah seseorang yang mengkonsumsi makanan yang kaya kalsium dan mampu melindungi badan terhadap kehilangan cadangan kalsium tubuh, misalnya pada kehamilan, menyusui, masa pertumbuhan dan intake kalsium yang rendah. Disamping itu pada osteoklast terdapat reseptor calsitonin dan secara cepat calsitonin akan menghambat aksi osteoklas. Salmon atau human calsitonin diberikan secara subkutan dengan dosis 100 IU perhari, akan meningkatkan densitas tulang dan menurunkan fraktur vertebra. Dengan cara pemberian intaranasal dengan dosis tudak kurang dari 200 IU perhari ternyata tidak memberikan hasil yang baik pada wanita tua dengan fraktur vertebra.
  • Kalsium dan Vitamin D : Salah satu kegunaan kalsium dalam tubuh adalah untuk proses mineralisasi tulang dan juga berfungsi sebagai anti resorptive agent dengan cara meningkatkan kadar kalsium dalam darah dan menekan kadar hormon paratiroid. Berbagai penelitian telah membuktikan adanya penambahan densitas tulang pada pemberian kalsium. Dosis yang dianjurkan adalah antara 1.000 – 1.500 mg/hari. Pemberian vitamin D sebanyak 17,5 µg/hari selama 2 tahun dapat menghambat penurunan densitas tulang panggul dan kaput femuris.
  • Kalsitriol : Kalsitriol adalah salah satu hasil metabolit vitamin D atau 1,25 dihydroxyvitamin D suatu bentuk aktif dari vitamin D dan dipakai dalam pengobatan osteoporosis, menurunkan absorbsi kalsium dan mungkin mempunyai efek langsung pada sel tulang oleh karena itu pemberian kalsitriol pada penderita osteoporosis rasional terutama pada penderita lansia.
  • Hormon paratiroid (PTH) : Dengan pemberian PTH akan meningkatkan biokimiawi pada proses formasi dan resorpsi tulang sehingga bertindak sebagai pengatur lalu lintas kalsium dan fosfat melalui membran sel tulang dan ginjal serta akan mengakibatkan peningkatan kadar kalsium dan penurunan kadar fosfat dalam serum. Pada pemberian PTH injeksi setiap hari merangsang pembentukan tulang. Pemberian selama 2 tahun, ternyata terjadi peningkatan densitas tulang vertebra, tetapi pada tulang leher tidak terjadi. Walaupun demikian sampai saat ini efek PTH terhadap insidensi fraktur belum diketahui.
  • Anabolik steroid : Anabolik steroid telah lama dipakai untuk pengobatan osteoporosis pada wanita post menopause dan ternyata terapi ini dapat meningkatkan densitas tulang yang diduga melalui mekanisme merangsang pembentukan tulang. Akan tetapi marka biokimia tentang adanya proses pembentukan tulang tidak ditemukan, dengan demikian keadaan ini tidak menyokong hipotesa tersebut. Bekerjanya anabolik steroid ternyata primer pada penurunan bone turnover. Apabila anabolik steroid diberikan pada wanita, untuk mengurangi efek samping obat pemberiannya dianjurkan secara intermiten selama 6-9 bulan.
  • Raloxifene : Raloxifene merupakan formulasi kombinasi agonis estrogen dan antagonist estrogen dan mempunyai sifat selektif terhadap modulator reseptor. Pada menopause yang diberikan raloxipene selama 2 tahun, didapatkan penururunan resorpsi dan peningkatan densitas tilang limbal ( 2,4% ), Panggul ( 2,4%), dan pada densitas seluruh tulang (2,0%). Raloxipene juga menurunkan kolesterol LDL tetapi tidak menstimulasi pertumbuhan endometrial, sehingga raloxipene dapat digunakan sebagai terapi alternative pengganti estrogen.

DAFTAR PUSTAKA

Dipiro, et al. 2015, Pharmacoterapy Handbook, McGraw-Hill Education, USA
Wongdee, K., dan Charoenphandhu, N., 2011, Osteoporosis in diabetes mellitus: Possible            cellular and molecular mechanisms, World J Diabetes, 15; 41-48

Senin, 16 November 2015

TATA CARA PERIZINAN APOTEK


Tidak berbeda halnya dengan jenis bisnis eceran (retailer) lainnya, untuk mengoprasionalkan usaha apotek juga membutuhkan surat izin. Akan tetapi tidak semua orang dapat memperoleh surat izin apotek. Mengapa demikian? karena dalam usaha apotek, komoditas dagangnya berbeda dengan retail lainnya. Dari sudut pandang usaha setiap orang dapat saja mendirikan apotek, namun jika dilihat dari jenis komoditasnya, maka tidak semua orang dapat mengelola apotek. karena komoditas apotek berupa sediaan farmasi yang notabene memiliki sifat dapat mempengaruhi kondisi kesehatan manusia (konsumen), maka akan membahayakan masyarakat jika dikelola oleh pihak yang salah. Maka, pemerintah menetapkan bahwa hanya profesi apoteker yang berhak memperoleh surat izin apotek (SIA) ini. Dan berikut akan dilampirkan mengenai tata cara memperoleh perizinan apotek yang benar.

Lampiran :

Minggu, 15 November 2015

INTERAKSI MERUGIKAN OBAT DENGAN MAKANAN


Dalam tulisan kali ini, saya hendak berbagi ilmu mengenai beberapa interaksi antara obat dan makanan. Bahan yang akan dipaparkan adalah beberapa contoh interaksi yang merugikan antara keduanya. Sangat penting untuk diketahui oleh masyarakat bahwa makanan sehari-hari yang kita konsumsi juga dapat berpengaruh terhadap pengobatan yang sedang kita jalani. Dan demi terwujudnya pengobatan yang optimal, hendaknya kita harus menghindari interaksi buruk yang dipaparkan. Secara lebih khusus, pada tulisan kali ini saya akan memaparkan interaksi merugikan antara obat Warfarin, obat diabetik oral serta insulin dengan makanan.

1.     Interaksi warfarin dengan diet tinggi vitamin K dan beberapa jenis diet lain.
a.      Warfarin dan mekanisme aksinya
Warfarin merupakan obat yang diberikan pada pasien dengan resiko tinggi terjadi pembekuan darah (blood cloth). Pada beberapa kondisi klinis, pembekuan darah sangat mudah dan sangat cepat terjadi pada beberapa pasien. Kejadian ini dapat menjadi masalah kesehatan yang serius, karena bekuan darah dapat menyumbat aliran darah menuju ke jantung dan otak. Dalam hal ini, warfarin atau koumadin dapat mencegah terjadinya pembekuan darah dan mencegah efek buruk yang ditimbulkan karenanya (NIHCC, 2015).
Warfarin  diabsorbsi diusus halus dan memasuki sirkulasi darah, dimetabolisme di mikrosom sel hati, dan akan menghambat kerja vitamin K. Penghambatan kerja vitamin K meyebabkan penurunan sintesis faktor pembekuan II, VII, IX dan X serta pembentukan PIVKA (protein induced by vitamin K absent or antagonist). Kerja utama dari obat antikoagulan oral (warfarin) adalah menghambat kerja enzim epoksid reduktase, sehingga perubahan vitamin K epoksid menjadi vitamin K terganggu, akibatnya terjadi penumpukan prekursor faktor-faktor tergantung vitamin K. Antikoagulan oral juga dapat menghambat vitamin K menjadi vitamin K 1 hidrokuinon. Penghambatan kerja vitamin K menyebabkan terjadinya penurunan sintesis faktor II, VII, IX dan X (Hirsh, et al., 2001)

 
Skema 1. Mekanisme aksi warfarin

Skema 2. Proses pembekuan darah (kotak biru: faktor pembekuan darah yang tergantung vitamin K = sensitif warfarin)  

INR (International Normalized Ratio) dan PT (Prothrombin Time) adalah parameter yang dukur dalam uji laboratorium untuk menentukan waktu pembekuan darah pasien. Pasien yang mengonsumsi obat warfarin akan mengalami perpanjangan waktu pembekuan darah dan menghasilkan nilai INR/PT yang lebih lama. Sangat penting dalam dunia medis untuk selalu memantau nilai rasio INR/PT pasien agar selalu dalam rentang normal saat pasien mengonsumsi warfarin (NIHCC, 2015).
b.      Interaksi Warfarin dengan makanan tinggi vitamin K dan beberapa makanan lain.
Diketahui bahwa vitamin K dan warfarin jelas memiliki efek yang berlawanan dalam tubuh, sehingga perubahan jumlah asupan vitamin K dari makanan sehari-hari akan mempengaruhi efektifitas dari warfarin itu sendiri. Sangat penting untuk menjaga jumlah asupan vitamin K yang konsisten pada pasien yang mengonsumsi warfarin. Secara umum, makanan seperti sayuran berwarna hijau dan beberapa minyak adalah kaya akan vitamin K. Disaat terjadi penurunan konsumsi vitamin K dari makanan, maka sangat mungkin perlu bagi pasien untuk diturunkan dosis warfarinnya, untuk mencegah terjadinya pendarahan. Sedangkan saat asupan vitamin K pasien meningkat, maka dosis warfarin sangat mungkin untuk ditingkatkan guna menjaga efektifitasnya dalam mencegah pembekuan darah. Dalam aplikasinya secara klinis, pasien tidak harus menghindari makanan tinggi vitamin K saat mereka mengonsumsi warfarin, namun hal terpenting adalah menjaga asupan vitamin K itu tetap konstan. Dan hal terpenting lain adalah saat terjadi paerubahan drastis pada pola makanan yang mengandung vitamin K, pasien harus memberitahukan kepada dokter agar dapat dilakukan pemantauan rasio INR/PT lebih lanjut (Pharmacist’s Letter, 2005)

Dibawah ini akan ditampilkan tabel yang memuat beberapa diet yang mengandung vitamin K. Makanan/minuman yang ada dalam tabel bukan merupakan  makanan/ minuman yang harus di hindari secara penuh, namun lebih kepada menginformasikan berapa jumlah asupan vitamin K yang ada pada setiap makanan.

Tabel 1. Kandungan vitamin K pada beberapa jenis makanan; sumber : USDA (2010)

Interaksi antara warfarin dan makanan mengandung vitamin K telah terdokumentasi dengan baik. Namun, potensi interaksinya dengan makanan tinggi protein, makanan yang mempunyai efek antiplatelet serta makanan yang mempengaruhi enzim sitokrom p-450 belum banyak terdokumentasi. Warfarin merupakan suatu rasemat yang merupakan campuran R-warfarin dan S-warfarin. Warfarin sangat dominan dimetabolisme di hati oleh enzim sitokrom p-450. 2 jenis enantiomer warfarin mempunyai efek terapi dan enzim pemetabolisme yang berbeda pula. S-warfarin dimetabolisme sebagian besar oleh enzim CYP2C9, dan sebegian oleh enzim CYP3A4. Sedangkan R-warfarin dimetabolisme mayoritas oleh enzim CYP1A2, sebagian oleh CYP3A4 dan sebagian kecil oleh CYP2C19. Makanan-makanan yang menginduksi beberapa isoenzim pemetabolisme warfarin, dapat menyebabkan turunnya afek klinis dari warfarin, sedangkan makanan yang bersifat menginhibisi isoenzim tadi akan berefek sebaliknya. Beberapa makanan yang secara teori dapat mengubah konsentrasi enzim CYP450 dihati dan dapet mengubah efek warfarin adalah jus kranberri, jus anggur, jus mangga, kafein, kedelai, teh hijau, serta alkohol (Pharmacist’s Letter, 2005).
1)       Makanan tinggi protein
Beberapa pola diet yang dijalankan masyarakat sekarang ini adalah bentuk diet yang menekan jumlah konsumsi karbohidrat dan meningkatkan konsumsi protein, untuk mengurangi berat badan. Klinisi telah menemukan bahwa terjadi fluktuasi INR pada pasien yang melakukan pol diet seperti diatas.  2 case report melaporkan bahwa pasien dengan diet tinggi protein-rendah karbo mengalami penurunan waktu INR dan membutuhkan peningkatan dosis warfarin sebesar 20-30%. Secara klinis, diet tinggi protein akan meningkatkan kadar albumin darah (suatu protein darah) pasien dalam 10 hari setelah dimulainya diet, padahal albumin merupakan protein plasma yang berfungsi mengikat obat (warfarin). Dalam konteks transportasi obat, obat yang tidak terikat albuminlah yang akan menimbulkan efek terapi, sehingga dengan peningkatan kadar albumin maka semakin sedikit warfarin bebas dalam darah yang akan menimbulkan efek terapi. Sehingga disarankan bagi pasien yang mengonsumsi diet seperti diatas untuk selalu mengonsultasikanya pada dokter, karena tinggi potensi bagi pasien untuk dilakukan peningkatan dosis (Tom, 2010; level evidence D). 
2)       Jus anggur
Jus anggur adalah salah satu makanan mengandung flavonoid yang dapat menginhibisi isoenzim CYP3A4, CYP2C9, CYP2C19, dan CYP1A2 pada hati. Sebenarnya secara teoritis, gangguan metabolisme warfarin jelas terganggu karena warfarin juga dimetabolisme oleh isoenzim ini. Namun efek inhibisi hari anggur sulit untuk diprediksi karena sangat tergantung dengan jumlah dari anggur yang dikonsumsi. Secara teori, flavonoid dalam anggur dapat menjadi substrat competitor yang bersaing dengan R dan S-warfarin untuk dimetabolisme oleh enzim tertentu. 1 case report melaporkan bahwa terjadi peningkatan INR pasien yang mengonsumsi sejkitar 50 ons anggur setiap hari. namun menurut suatu klinikal trial yang dilakukan, ditemukan bahwa konsumsi anggur sebanyak 24 ons setiap hari tidak akan mengubah nilai INR pada pasien yang mengonsumsi warfarin. Sehingga pasien dengan konsumsi warfarin mungkin perlu untuk dibatasi konsumsi anggurnya menjadi 24 ons/hari atau kurang (Tom, 2010; level evidence D)   
3)        Alkohol
Telah dilaporkan 2 mekanisme terkain interaksi alkohol dan warfarin, yaitu lewat mekanisme perubahan protein binding dan induksi/inhibisi isoenzim CYP2C9. Peningkatan kadar alkohol dalam darah akan meningkatkan jumlah protein darah yang digunakan untuk mengikat alkohol. Sehingga secara langsung jumlah protein darah yang digunakan untuk mengikat albumin menjadi berkurang, lalu fraksi obat bebas akan meningkat dan tentunya akan meningkatkan efek dari warfarin tersebut. Sedangkan pada peminum alkohol, mungkin terjadi kerusakan hati yang akan berefek pada berkurangnya jumlah enzim pemetabolisme. 2 efek dari alkohol inilah yang mungkin akan meningkatkan efek antikoagulasi warfarin dan perlu dilakukan penurunan dosis (Tom, 2010; level evidence D). Menurut Paulo Alto Medical Foundation (2015) batas toleransi konsumsi alkohol saat mengonsumsi adalah tidak lebih dari 2 kali minum sehari


                  1 kali minum = 12 floz bir = 5 floz wine = 1,5 floz liquor
 
 



4)       Jus cranberry
Pada 2003 England-based Committee on Safety of Medicine (CSM) mempublikasikan 5 case report yang menunjukkan bukti bahwa adanya interaksi antara cranberry jus dengan warfarin. Mekanisme potensial yang dijelaskan adalah adanya interaksi warfarin dengan flavonoid dalam cranberry. Secara teori, flavonoid dalam cranberi dapat menginhibisi enzim CYP2C9 yang juga memetabolisme warfarin, sehingga akan terjadi peningkatan INR pasien. Mekanisme lain adalah adanya kandungan asam salisilat pada cranberry , yaitu sebanyak 7 mg/L jus cranberi. Meminum 250 ml jus cranberi/hari selama 2 minggu akan meningkatkan kadar serum asam salisilat dalam tubuh. Secara teori, asam salisilat uga memiliki aktifitas antikoagulan sehingga jelas akan meningkatkan efek dari warfarin. Dalam hal ini, pasien dengan konsumsi warfarin disarankan utuk mengurangi konsumsi cranbery (Tom, 2010; level evidence D).
2.     Interaksi Insulin dan obat diabetik oral dengan alcohol
Pada penderita diabetes, kontrol tubuh terhadap kadar glukosa darah menjadi sangat buruk. Hal ini bisa terjadi karena kurangnya hormon insulin dalam tubuh (DM 1) atau juga bisa dikarenakan sel-sel tubuh tidak lagi merespon dengan baik adanya insulin dalam tubuh, sehingg terjadi peningkatan kadar glukosa darah diatas normal. Konsumsi alkohol yang dilakukan oleh penderita diabetes dapat memunculkan 2 kemungkinan sekaligus, yitu terjadinya peningkatan kadar glukosa darah (hiperglikemi) atau bahkan penurunan kadar glokosssa darah (hipoglikemi), hal ini tergantung dengan status gizi dari pasien. Dalam hal ini, seseorang yang telah menderita diabetes dan mengonsumsi alkohol dalam jangka waktu lama akan berpotensi timbulnya efek hiperglikemik, sebaliknya jika konsumsi alkohol dilakukan dalam keadaan akut terlebih lagi dalam keadaan perut kosong, dimana cadangan energi seseorang mulai habis, maka ini akan memicu timbulnya kondisi hipoglikemik. Dalam hal ini, jelas akan terjadi interaksi anatar alkohol dan obat antidiabetes oral maupun insulin yang keduanya sama-sama memiliki efek hipoglikemik pada penderita diabetes (Pharmacist’s Letter/Prescriber’s Letter, 2008).
Dalam hal hipoglikemik akibat alkohol, hal ini terjadi pada saat seseorang mengonsumsi alkohol pada kondisi perut kosong dimana keadaan kadar glokosa dalam darah memang sedang berada pada level rendah.dalam keadaan ini, tubuh akan mencari sumber glukosa lain utuk dijadikan sumber energi tubuh, misalnya lewat proses gluconeogenesis untuk mempertahankan kadar glukosa dalam darah. Glukoneogenesis ini terjadi dalam hati dan memerlukan komponen/senyawa-senyawa yang banyak diregulasi oleh nicotinamide adenine dinucleotide (NADH). Alkohol, dalam hal ini juga dimetabolisme di hati dan menyebabkan terjadinya peningkatan kadar NADH dalam hati. NADH yang berlebihan justru akan menurunkan kadar senyawa-senyawa yang dibutuhkan dalam proses glukoneogenesis, sehingga efek lebih lanjutnya jelas akan menimbulkan hipoglikemik pada pasien. Efek hipoglikemik akibat alkohol ini akan menimbilkan efek klinis yang parah apabila dibarengi dengan konsumsi obat antidiabetes atau insulin yang juga bertujuan untuk menimbullkan efek hipoglikemik pada penderita diebetes. Sehingga untuk pencegahan, sangat disarankan jika memang pasien hendak mengonsumsi alkohol, sebaiknya diminum bersama atau sesaat setelah makan (Pharmacist’s Letter/Prescriber’s Letter, 2008)..
Pasien diabetes yang mengonsumsi alkohol harus sangat memperhatikan kondisinya apabila terjadi beberapa tanda yang mengarah pada munculnya efek hipoglikemik. Harus dipastikan apakah efek hipoglikemik ini berhubungan dengan obat antidiabetes ataukah akibat intoksikasi alkohol (hipoglikemik akibat alkohol). Sehingga sangat disarankan untuk pasien agar sesering mungkin memeriksa kadar glukosa darahnya. Dalam hal ini, juga perlu diketahui oleh pasien bahwa konsumsi alkohol bersama obat diabetes tertentu (misal : klorpropramid) juga dapat menimbulkan disulfiram-like reaction, yaitu suatu reaksi yang ditandai dengan mual, muntah, pusing, muka merah, napas pendek, sakit kepala hebat, gangguan penglihatan, palpitasi jantung, dan mungkin juga pingsan. Secara garis besar, interaksi antara alkohol dengan beberapa obat antidiabetes oral dan insulin akan dijelaskan pada tabel 2 dibawah ini.
Obat / golongan obat
Mekanisme interaksi
Komentar / saran
Sulfonilurea (klorpropramid, glipizid, gliburid, tolbutamid)
·         Telah dilaporkan terjadinya disulfram like reaction pada pasien yang mengonsumsi klorpropramid dengan alkohol (secara teori, ini juga akan terjadi pada obat lain yang termasuk sulfonilurea). Mekanisme pastinya belum diketahui.
·         Peminum alkohol akut akan meningkatkan efek hipoglikemik
·         Alkohol mungkin akan memperpanjang efek glipizid dalam tubuh dengan mekanisme penundaan absorbsi dan eliminasi obat
·         Konsumsi alkohol secara kronis akan menurunkan waktu paruh tolbutamid dengan mekanisme menurunkan absorbsi dan meningkatkan metabolisme hati dari tolbutamid.
·         Pasien disarankan untuk tidak meminum alkohol melebihi batas yang ditentukan untuk mencegah terjadinya efekhipoglikemik.
·         Monitor secara ketat adanya tanda-tanda hipoglikemik apabila harus dilakukan konsumsi alkohol dengan sulfonilurea.
·         Beritahukan pada pasien untuk menghentikan minum alkohol bila terjadi tanda berupa pusing atau muntah.
Insulin
·         Meningkatkan efek penurunan glukosa darah oleh insulin
·         Menghasilkan efek perangsangan pelepasan insulin saat proses glucose load (makan) dan menginhibisi glukoneogenesis.
·         Sarankan pasien untuk membatasi konsumsi alkohol dan sarankan untuk menghindari minum alkohol saat perut kosong.
·         Monitor secara ketat adanya tanda hipoglikemik apabila harus dilakukan konsumsi alkohol dengan insulin
Metformin
·         Secara teoriakan meningkatkan resiko asidosis laktat
·         Menambah efek metformin dalam mempengaruhi metabolisme laktat
·         Sarankan pasien untuk membatasi konsumsi alkohol
·         Melakukan monitoring secara ketat akan terjadinya asidosis laktat jika terpaksa dilakukan kombinasi konsumsi antara alkohol dan metformin
Tabel 2. Interaksi antara alkohol dengan obat antidiabetik oral dan insulin
Sumber : Pharmacist’s Letter/Prescriber’s Letter (2008)

DAFTAR PUSTAKA

Hirsh J, Dalen J, Poller, L et al., 2001, Oral anticoagulants : Mechanism of Action, Clinical Effectiveness, and Opt imal Therapeutic Range. Chest, 119 ( suppl.1 ): S8-S21.
National Institutes of Health Clinical Center, 2015, Important information to know when you are taking: Warfarin (Coumadin) and Vitamin K, www.cc.nih.gov, diakses pada 10 november 2015.
Pharmacist’s Letter/Prescriber’s  Letter, 2005, Warfarin-food interactions. 21(5) :210507.
Pharmacist’s Letter/Prescriber’s Letter, 2008, Alcohol-related drug interactions, 24(1):240106.
Tom, Wan-Chih, 2010, Warfarin-Food Interactions, Pharmacist’s Letter/Prescriber’s  Letter, 21(5) :210507.
USDA National Nutrient Database for Standard Reference, 2010, Nutrient Data Laboratory home page, Release 23.: http://www.ars.usda.gov/nutrientdata. diakses 10 november 2015.

Rabu, 11 November 2015

STUDI KASUS FARMAKOTERAPI : DISENTRI PADA IBU HAMIL

Analisa DRP (Drug related problem)

Subjektif
Nama pasien : Ny. DS
Jenis kelamin : Perempuan
TB : 160 cm
BB : 74 kg
Usia : 33 tahun
Riwayat alergi : -
Usia kehamilan : 31 minggu
Tgl masuk ICU : 14 oktober 2015
Diagnosa : disentri

Riwayat Pengobatan :








Pembahasan DRP pengobatan (terlampir) :
Kasus Disentri - pembahasan DRP .ppt

Minggu, 25 Oktober 2015

PENGERTIAN, KOMPOSISI DAN KLASIFIKASI LIPOPROTEIN

PLASMA DARAH
Darah adalah jaringan yang merupakan suatu kumpulan sel-sel serupa yang melakukan suatu fungsi khusus dalam tubuh. Berbeda dengan jaringan lainya, darah merupakan suatu cairan terdiri dari sel-sel padat/butir-butir darah dalam cairan darah/plasma darah. Ada 3 macam sel darah yaitu sel darah merah (eritrosit), sel darah putih (leukosit) dan keping darah (trombosit) (Arifah, 2006).
Plasma adalah cairan kekuning-kuningan yang menyusun kira- kira 50% volume darah. Pada umumnya plasma darah terdiri dari 91 - 92% air dan 8 - 9% protein. Protein plasma sebenarnya adalah suatu campuran yang kompleks yang tidak hanya mengandung protein sederhana tetapi juga protein terkonjugasi (berikatan dengan molekul lain) seperti glikoprotein dan berbagai tipe lipoprotein (Arifah, 2006).
Protein plasma dibagi menjadi 3 kelompok besar yaitu fibrinogen, albumin dan globulin (alfa-1 globulin, alfa-2 globulin, beta globulin dan gama globulin). Globulin pada protein plasma merupakan campuran yang sangat kompleks. Menurut (Arifah, 2006) Komponen tersebut adalah :
  a.   mukoprotein dan glikoprotein : merupakan kombinasi protein dengan bagian-bagian karbohidrat
  b.   lipoprotein : sekitar 3% protein plasma terdiri dari kombinasi lipid/lemak dan protein (alfa globulin) serta sekitar 5% merupakan kombinasi lipid dengan protein beta globulin.

1.      Lipoprotein dalam Plasma Darah
Lemak/lipid yang diserap dari makanan dan lemak yang disintesis oleh hati dan jaringan adiposa harus diangkut ke berbagai jaringan dan organ untuk digunakan dalam metabolisme dan disimpan sebagai cadangan. Lipid bersifat non polar dan tidak larut dalam air, maka timbullah masalah bagaimana mengangkut lipid dalam lingkungan aqueous, yaitu dalam plasma darah. Di dalam plasma sendiri ditemukan 4 (empat) macam lipid yaitu: triasilgliserol (45% dari total lipid), fosfolipid (35%), kolesterol dan kolesterol ester (15%) serta asam lemak bebas (kurang dari 5%) (Arifah, 2006).
Masalah pengangkutan lipid dalam plasma darah yang bersifat aqueous tersebut dapat terselesaikan dengan adanya pengangkut yang larut dalam air yaitu lipoprotein. Struktur umum partikel lipoprotein terdiri dari inti hidrofobik yang tersusun dari triasilgliserol dan kolesterol ester. Inti ini dikelilingi selapis permukaan lipid amfipatik (fosfolipid dan kolesterol) dengan posisi gugus polarnya terletak di luar menghadap medium aqueous. lipid yang diangkut terdapat dalam inti non polar (Arifah, 2006). Sejumlah protein yang disebut apolipoprotein atau apoprotein, terikat pada permukaan atau terintegrasi dalam partikel lipoprotein (gambar 1).
Gambar 1. Struktur Umum Lipoprotein
Lipoprotein dapat dipisahkan menurut sifat elektroforetiknya ke dalam alfa lipoprotein, beta lipoprotein dan pre-beta lipoprotein. Lipoprotein juga dapat dibedakan berdasarkan densitasnya menggunakan metode ultra sentrifuga si dan menurut komposisi apolipoproteinnya. Lima famili lipoprotein dasar meliputi (Arifah, 2006):
1. Lp A : terdiri dari apolipoprotein AI dan AII (pada lipoprotein HDL dan kilomikron)
2. Lp B : terdiri dari beta apolipoprotein (B-100 pada LDL, VLDL, IDL; B-48 pada kilomikron)
3. Lp C : terdiri dari apolipoprotein CI (pada VLDL dan HDL), CII (pada VLDL, HDL, dan kilomikron), dan CIII (pada VLDL, HDL, dan kilomikron)
4. Lp D : hanya terdiri dari apolipoprotein tipe D (pada subfraksi HDL)
5.  Lp E  : terdiri dari apolipoprotein yang kaya akan arginin (pada VLDL, HDL, dan kilomikron)

LIPOPROTEIN
Lipoprotein adalah sebuah senyawa kompleks larut air yang terdiri dari protein (apolipoprotein) dan lipid serta berfungsi untuk mentransport lipid dalam sirkulasi tubuh pada semua jenis vertebrata bahkan insektisida (Jonas dan Phillips, 2008). Menurut Almatsier (2002), lipoprotein didefinisikan sebagai gabungan molekul lipida dan protein yang disintesis di dalam hati, dimana tiap jenis lipoprotein berbeda dalam ukuran, densitas, dan mengangkut berbagai jenis lipida dalam jumlah yang berbeda. Lipoprotein disintesis pada organ hepar dan usus melalui suatu perubahan metabolik dari prekursor lipoprotein, atau bisa juga tersintesis di membran sel dari lipid seluler dan eksogenus lipoprotein atau apolipoprotein. Didalam sirkulasi, lipoprotein sangatlah dinamis. Lipoprotein berperan dalam reksi enzimatik dengan komponen lipid yang dimilikinya, memfasilitasi transfer lipid dan melakukan transfer apolipoprotein larut air. Pada akhirnya, lipoprotein diambil dan dikatabolisme di hati, ginjal dan jaringan periferal melalui reseptor termediasi endositosis dan mekanisme lain (Jonas dan Phillips, 2008).
1.      Komponen Penyusun Lipoprotein
Secara garis besar partikel lipoprotein mengandung proporsi yang bervariasi dari 4 elemen utama, yaitu : Kolesterol, trigliserid, fosfolipid dan protein spesifik yang disebut apoprotein.
a.  Trigliserida : Trigliserida (dalam bentuk triasilgliserol atau triasilgliserida) adalah sebuah gliserida, yaitu ester dari gliserol dan tiga asam lemak.
b.  Kolesterol : Kolesterol adalah metabolit yang mengandung lemak sterol yang ditemukan pada membran sel dan disirkulasikan dalam plasma darah. Kolesterol juga banyak terdapat dalam lipoprotein plasma darah, kurang dari 70% dalam bentuk ester kolesterol.
c.  Fosfolipid : Fosfolipid merupakan golongan senyawa lipid dan merupakan bagian dari membran sel makhluk hidup; bersama dengan protein, glikolipid dan kolesterol. Fosfolipid memiliki kerangka gliserol dan 2 gugus asil. Pada posisi ketiga dari kerangka gliserol ditempati oleh gugus fosfat yang terikat pada amino alkohol.
d.  Apolipoprotein : Apolipoprotein adalah suatu protein di dalam tubuh yang membantu transportasi lipid. Beberapa apoprotein bersifat menyatu (integral), dan tidak bisa dilepaskan, sementara sebagian lagi (apoprotein perifer) dapat berpindah dengan bebas ke lipoprotein lainnya.

2.      Klasifikasi Lipoprotein
Berdasarkan komposisi relatif dari protein dan lipidnya, lipoprotein diklasifikasikan menjadi 4 macam yaitu, kilomikron (KM), very  low  density  (VLDL),  low  density (LDL),  dan  high density  (HDL) lipoprotein. Komposisi relatif dari lipid dan protein pada lipoprotein ini akan menentukan kepadatan dari masing-masing kelas lipoprotein. KM hanya memiliki 1-2% protein, sedangkan HDL memiliki protein hingga 50% dari total beratnya. Diameter dari lipoprotein berbanding terbalik dengan kepadatan mereka, yaitu berkisar antara 6000 Å untuk KM hingga 70 Å untuk HDL (Jonas dan Phillips, 2008) (gambar 2).
Gambar 2. Klasifikasi Utama Lipoprotein (KM, VLDL, LDL, HDL) Berdasarkan kepadatan (density) masing-masing kelas (Jonas dan Phillips, 2008)
  1. Kilomikron : Kilomikron mempunyai diameter 90 — 1000 nm dan densitas <0,95, diproduksi oleh intestinum, sangat kaya akan triasilgliserol yang berasal dari makanan (85-95%), miskin akan kolesterol bebas dan fosfolipid, dan mengandung sekitar 1 - 2% protein. Kilomikron mengandung apo B-48, apoA, apoC dan apoE. Triasilgliserol pada kilomikron dihidrosis oleh lipase lipoprotein menjadi asam lemak bebas dan gliserol. Kilomikron bertanggung jawab dalam transpor lipid dari makanan ke dalam sirkulasi (Arifah, 2006).
  2. VLDL (Very Low Density Lipoprotein) atau pre-beta Lipoprotein : VLDL disebut juga pre-beta lipoprotein. VLDL dibentuk di dalam hati dan intestinum, berfungsi sebagai sarana untuk transpor triasilgliserol dari hati ke jaringan ekstrahepatik untuk memenuhi kebutuhan energi dan untuk disimpan. Partikel VLDL mempunyai diameter 30-90 nm, densitas 0,95-0,006 dan kaya akan triasilgliserol. Lipoprotein pada VLDL kebanyakan adalah apo B-100 dan apo C, tetapi juga memiliki beberapa apo E. Partikel yang lebih kecil yang dihasilkan dari interaksi antara VLDL dan lipase lipoprotein sering disebut intermediate density /Lipoprotein/IDL. IDL mem- punyai diameter 25 - 30 nm dan densitas 1,006 - 1,019. VLDL adalah prekuesor IDL dan IDL adalah prekursor LDL (Arifah, 2006).
  3. LDL (Low density Lipoprotein) atau beta Lipoprotein : LDL disebut juga beta lipoprotein. LDL menyusun sekitar 50% dari total massa Lipoprotein dalam plasma manusia. Sekitar 50% dari massa LDL adalah kolesterol, yang kebanyakan teresterifikasi dan sekitar 25% adalah protein. Protein penyusun LDL kebanyakan adalah apo B-100 dengan sedikit apo C. LDL mengangkut kolesterol dan fosfolipid dari hati ke sel tepi. LDL mempunyai densitas 1,019-1,063 dan diameter 20 - 25 nm (Arifah, 2006).
  4. HDL (High Density Lipoprotein) atau alfa Lipoprotein: HDL disebut juga alfa Lipoprotein. HDL adalah suatu partikel kecil yang terdiri dari sekitar 50% protein (kebanyakan apo A, tetapi juga beberapa apo C dan apo E), sekitar 20% kolesterol (kebanyakan terseterifikasi), 30% fosfolipid dan hanya sedikit triasilgliserol. HDL berperan dalam transpor kolestreol dari sel tubuh ke hati, dimana HDL disintesis dan dikeluarkan dari hati dan intestinal. HDL dibedakan menjadi HDL1 dengan diameter 20-25 dan densitas 1,019–1,063; HDL2 dengan diameter 10-20 nm dan densitas  1,063-1,125; dan HDL3 dengan diameter 5-10 nm dan densitas 1,125-1,210. Fungsi utama dari HDL adalah untuk menghilangkan kelebihan kolesterol dan membawa kelebihan tersebut ke hati untuk dimetabolisme menjadi garam empedu. Fungsi penghapusan kolesterol dari jaringan ini mendasari hubungan terbalik antara konsentrasi plasma HDL dan timbulnya penyakit terkait lipid. HDL juga mengangkut cadangan kolesterol untuk berbagai keperluan di tubuh yang dicadangkan oleh LDL. Fungsi lain dari HDL adalah: 1)  Transfer apoprotein ke lipoprotein lain, 2) Mengangkat lipid dari lipoprotein lain, 3)   Mengangkat kolesterol dari membran sel, 4)   Mengkonversi kolesterol menjadi ester kolesterol melalui reaksi LCAT, dan 5)   Transfer ester kolesterol ke lipoprotein lain melalui CETP
Lipoprotein
Sumber
Komposisi
Protein (%)
Total lipid (%)
Presentase dari Total Lipid
Triasilgliserol (%)
Fosfolipid (%)
Kolesterol ester
Kolesterol bebas
Asam lemak bebas
Kilomikron
Intestinum
1-2
98-99
88
8
3
1
VLDL
Hati dan intestinum
7-10
92-94
56
20
15
8
1
IDL
VLDL dan Kilomikron
11
89
29
26
34
9
1
LDL
VLDL
21
79
13
28
48
10
1
HDL2
Hati dan intestinum
33
67
16
43
31
10
HDL3
57
43
13
46
29
6
6
Albumin-asam lemak bebas
Jaringan adipose
99
1
0
0
0
0
100
Tabel 3. Komposisi lipoprotein dalam plasma manusia (Arifah, 2006).

DAFTAR PUSTAKA
Almatsier, S., 2002, Prinsip Dasar Ilmu Gizi, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Arifah, 2006, Peran Lipoprotein Dalam Pengangkutan Lemak Tubuh, Kaunia, Vol. II, No. 2.
Jonas A. dan Phillips, M.C., 2008, Lipoprotein  structure dalam Biochemistry  of  Lipids, Lipoproteins  and Membranes  (5th Edn.), Elsevier  B.V.